Senin, 12 Mei 2014

ANALISIS SURAT AL FATIHAH AYAT 6





Nama : Nafiul Inayah
NPM: 116210297
6C


اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus. [QS. Al-Fatihah : 6]

Kata  اهدنا  berasal dari kata هدى  yang artinya petunjuk. Wahbah Zuhaili dalam tafsir al- munir mengatakan ﻫﺩﻯ  sebagai jalan yang menyampaikan kepada kebenaran. Dengan adanya petunjuk (hidayah). Perilaku kita akan sesuai yang dikehendaki Allah. Ada lima macam bentuk hidayah yang Allah berikan kepada kepada makhluk- Nya. Yaitu ;Hidayah yang diberikan kepada manusia dan itu sudah menjadi bagian dari fitrahnya, misalnya bayi yang menangis ketika lapar atau pada saat ditinggal orang tuanya.Hidayah yang Allah berikan kepada manusia maupun hewan melalui panca indra. Hidayah yang kedua ini merupakan penyempurnaan dari yang pertama. Bayi merasa dilindungi jika dipeluk dan dicium. Hewan menggunakan panca inderanya untuk berburu atau merawat anaknya. Hewan- hewan tersebut menggunakan insting, bukan akal. Dalam hal- hal tertentu mereka lebih peka dari pada manusia. Karena itu bagian kedua ini lebih banyak diberikan kepada binatang dari pada manusia.
Hidayah yang diberikan lewat akal. Menggunakan indra saja dalam menggunakan hidup ini tidaklah cukup. Dibutuhkan akal. Dengan akallah bisa membedakan benar dan salah. Dengan akal manusia bisa meraih kemajuan , menciptakan berbagai alat dan membuat aturan- aturan dalam kehidupan sosial. Peradaban binatang selama berabad- abad tidak mengalami perubahan. Sebab binatang tidak dikaruniai akal, sementara manusia yang dikaruniai akal peradabannya terus berkembang. 
                            لقد خلقنا الا نسان في احسن تقويم                            
              “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik- baiknya.” (Qs. At-Tin:4). Hidayah diberikan melalui agama. Agama berisi petunjuk, perintah serta larangan yang ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia agar lebih baik. Akal bisa digunakan untuk menciptakan berbagai inovasi dalam rangka meraih kemajuan. Tetapi untuk meraih kebahagiaan, tidak cukup hanya menggunakan akal. Akal biasa lebih mendahulukan hawa nafsu dari pada kebenaran. Disinilah fungsi agama berperan, yaitu memberi rambu- rambu atau petunjuk bagi manusia.Hidayah yang Allah berikan kepada kita agar dapat mengetahui kebenaran hakiki. Dengan pengetahuan ini manusia tidak akan tersesat lagi. Mereka yang telah mengetahui kebenaran sejati, tidak akan cemas dan khawatir. Hati mereka dipenuhi cahaya dan kebahagiaan.



ALQURAN SEBAGAI HIDAYAH.
Alquran Allah turunkan kepada manusia lewat kekasih-Nya adalah hidayah bagi orang- orang yang bertaqwa. Mereka yang bertaqwa menjadikan Alquran sebagai petunjuk dalam mengarungi hidup. Ucapan dan tindakan mereka senantiasa berpedoman pada Alquran sehingga hidup mereka tak perah lepas dari petunjuknya. Allah swt berfirman dalam Alquran dalam surah Albaqarah ayat 2 “ Kitab (Alquran ) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertqwa.”
Kebenaran Alquran tidak perlu diragukan lagi. Jika ada beberapa hal yang seakan –akan tidak sesuai dengan akal, tentu bukan karena Alquran salah atau tidak lagi sesuai. Otak manusia lah yang tidak mampu mencerna apa yang disampaikan Alquran.Agar selalu berada dijalan yang benar, kita harus senantiasa berdoa, meminta pertolongan dan petunjuk-NYA. Tidak ada satu pun makhluk yang mampu memberikan hidayah kepada orang lain. Nabi Muhammad saw pun tidak mampu memberikan hidayah kepada pamanya untuk memeluk agama Islam. hidayah merupakan hak mutlak Allah swt.
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”.(Qs. Al-Qashash: 56). Disinilah ditemukan salah satu hikmah, kenapa kita diwajib berdo’a (didalam shalat)  minimal  27 kali sehari. Shalat berjamaah di mesjid, puasa, dzikir, suka menolong orang lain, dan amal ibadah lainnya. Adalah jembatan untuk menghilangkan keragu- raguan atas kebenaran Alquran. Mengapa? Karena barang siapa menunaikan shalat berjamaah, memperbanyak puasa sunnat, suka menolong, tidak menjhalimi orang lain, dan mengerjakan perintah – perintah Allah, dia akan mendapatkan kemudahan untuk memperoleh hidayah dan taufik-Nya. Dengan memperoleh hidayah dan Taufiknya, akan muncul sebuah keyakinan bahwa Alquran adalah pedoman untuk mengarungi kehidupan. Rasulullah saw bersabda;
“ Sungguh aku telah meninggalkan pada kalian dua hal yang jika menjadikannya pedoman dan beramal dengan keduanya kalian tidak akan tersesat (baik didunia maupun di akherat) ;Alquran dan Sunnahku. (Hr, Bukhari dari Abu Hurairah). Tanpa hidayah, manusia seperti berada didalam sebuah ruangan gelap gulita. Jangankan benda- benda kecil , benda yang besar pun tidak akan dilihat, berbeda mereka yang mendapatkan hidayah-Nya, dia bagaikan berada disebuah ruangan yang memiliki penerangan yang sangat jelas, sehingga benda sekecil apapun dapat dilihat. Karena itu selalulah berdo’a untuk mendapatkan hidayah-Nya .
Sumber : Mengakrabi Al qur’an karya H. Deden Zainal Mutaqin, LC, M.Si

Jumat, 28 Maret 2014

ANALISIS PUISI " AKU " CHAIRIL ANWAR



Aku (Chairil Anwar)
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

          Analisis Gaya Bahasa  Dalam Puisi  “ AKU “ Chairil Anwar


            Gaya Bahasa, yaitu penggunaan bahasa yang dapat menghidupkan atau meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. Gaya bahasa disebut juga majas. Kata-kata yang digunakan dalam penggalan puisi tersebut adalah kata konotatif. Artinya,kata-kata yang berkemampuan mengandung arti ganda.
Pada bait puisi “ Aku ini binatang jalang”, menunjukan bahwa terdapat gaya bahasa simbolik yang melukiskan sesuatu dengan menggunakan simbol atau lambang untuk menyatakan maksud. Dalam kalimat ini menyatakan dengan jelas bahwa penulislah yang seolah-olah menjadi ukuraan masyarakat pada masanya. Namun, apabila bait tersebut digabungkan dengan bait selanjutnya “ Dari kumpulannya terbuang “, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat majas fable. Yang menyatakan perilaku binatang sebagai manusia yang dapat berpikir dan bertutur kata.
“ Biar peluru menembus kulitku “ terdengar ungkapan yang memang sudah tidak asing lagi untuk diperdengarkan. Maka gaya bahasa yang tertorehkan pada bait tersebut adalah majas alusio. Yang dimana majas ini menyatakan bahwa pemakaian ungkapan pada “ Menembus kulitku “  yang tidak diselesaikan karena sudah dikenal. Demikian juga pada bait “ Aku tetap meradang menerjang “ istilah ini menggunakan majas sinestesia. Yang menyatakan berupa suatu ungkapan rasa dari suatu indra yang dicurahkan lewat ungkapan rasa indra lainnya.
Pada bagian terakhir dapat dilihat bagaimana penggunaan majas pada bait puisi tersebut. Gaya bahasa yang digunakan dalam bait “ Aku ingin hidup seribu tahun lagi “ adalah majas alegori. Yang mana majas ini menyatakan dengan cara lain, kiasan, dan penggambaran tentang sesuatu. Istilah “Aku igin hidup seribu tahun lagi “ menyatakan bahwa penulis ingin merasakan kehidupan yang lebih lama lagi dari sisa masa hidupnya sekarang.
“ Tak perlu sedu sedan itu “ dalam bait puisi tersebut, dikatakan bahwa unsure majas yang terkandung di dalamnya adalah majas hiperbola. Yang mana hiperbola itu suatu majas yang bisa disebut juga sebagai ungkapan pengeras. Bahasa ini menggantikan kata sederhana menjadi luar biasa kedengarannya.
Demikian juga pada bait yang berbunyi “ Luka dan bisa kubawa berlari “. Dalam kata “ Luka ‘ mengandung arti hati atau perasaan. Sedangkan “ Berlari “ mempunyai arti kaki. Jadi dapat disimpulkan dalam tataran kalimat tersebut menggunakan majas sinestesia. Yang mana majas sinestesia itu sendiri adalah majas yang berupa suatu ungkapan rasa dari suatu indra yang dicurahkan lewat ungkapan rasa indra lainnya. Maksudnya adalah, dalam majas ini terdapat pertukaran indra dari satu indra ke indra lainnya.
Penjabaran majas selanjutnya terdapat pada kalimat “ Hingga hilang pedih perih “. Majas yang terkandung dalam bait  puisi tersebut adalah majas simbolik. Dengan membandingkan benda yang sesungguhnya dengan benda lain sebagai lambang sifatnya sebagai maksud. Kata “ Pedih “ yang berarti melambangkan mata sebagai tujuan maksud dari bait tersebut, dan kata “ Perih “ yang berarti melambangkan indra peraba. Perih dilambangkan sebagai lambang perasaan seseorang ketika menggunakan indra perabanya.



 Diksi dalam puisi “ AKU”
Untuk ketepatan pemilihan kata sering kali penyair menggantikan kata yang dipergunakan berkali-kali yang dirasa belum tepat, diubah kata-katanya.
Seperti pada baris kedua: bait pertama
“Ku mau tak seorang ’kan merayu”
Merupakan pengganti dari kata “ku tahu”.
“kalau sampai waktuku”
dapat berarti “kalau aku mati”
“tak perlu sedu sedan“
dapat bererti “berarti tak ada gunannya kesedihan itu”. “Tidak juga kau” dapat berarti “tidak juga engkau anaku, istriku, atau kekasihku”.
Pengimajian
Melalui diksi, kata nyata, dan majas yang digunakannya, penyair berupaya menumbuhkan pembayangan para penikmat sajak-sajaknya. Semakin kuat dan lengkap pembayangan yang dapat dibangun oleh penikmat sajak-sajaknya, maka semakin berhasil citraan yang dilakukan penyair. Di dalam sajak ini terdapat beberapa pengimajian, diantaranya :
‘Ku mau tak seorang ’kan merayu (Imaji Pendengaran)
‘Tak perlu sedu sedan itu’ (Imaji Pendengaran)
‘Biar peluru menembus kulitku’ (Imaji Rasa)
‘Hingga hilang pedih perih’ (Imaji Rasa).
1.5 Versifikasi
Ritme dalam puisi yang berjudul ‘Aku’ ini terdengar menguat karena ada pengulangan bunyi (Rima) pada huruf vocal ‘U’ dan ‘I’
Vokal ‘U’pada larik pertama dan ke dua, pengulangan berseling vokal a-u-a-u
Larik pertama ‘Kalau sampai waktuku.’
Larik kedua ‘Ku mau tak seorang-’kan merayu.
Larik kedua ‘Tidak juga kau’.
Pengulangan vokal ‘I’:
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih perih
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Tipogafri
Tipografi atau disebut juga ukiran bentuk. Dalam Puisi didefinisikan atau diartikan sebagai tatanan larik, bait, kalimat, frase, kata dan bunyi untuk menghasilkan suatu bentuk fisik yang mampu mendukung isi, rasa dan suasana. Namun dalam sajak ‘Aku’ karya Chairil Anwar tidak menggunakan tipografi.

Kamis, 27 Februari 2014

tugas semantik skripsi




TUGAS SEMANTIK BAHASA INDONESIA



Oleh:
Nafiul Inayah 116210297
Nova Eka Saputri 116211618


Program studi pendidikan dan bahasa indonesia
Fakultas keguruan dan ilmu pendidikan
Universitas islam riau
pekanbaru
2014

Adjektiva Bahasa Jawa Dialek Surabaya
Di Desa Pangkalan Kasai Kecamatan Seberida
Kabupaten Indragiri Hulu

1.        Latar Belakang Masalah     
  
Bahasa adalah salah satu unsur kebudayaan yang memiliki banyak fungsi. Di antara banyak fungsi yang dimiliki oleh bahasa, fungsinya adalah sebagai alat komunikasi atau alat interaksi yang hanya dimiliki manusia. sementara komunikasi bertujuan mentransformasikan ide atau maksud di antara mereka yang melakukan komunikasi. Maka apabila ide atau maksud tidak berhasil disampaikan dalam suatu komunikasi, komunikasi itu dianggap tidak efektif.
Chaer (2007:32) mengemukakan “Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh anggota kelompok sosial untuk kerja sama, berkomunikasi dan mengidentivikasikan diri”. Bahasa merupakan hasil dari aktivitas manusia. melalui bahasa akan terungkap suatu hal yang ingin disampaikan pembicara kepada pendengar, penulis kepada pembaca, dan penyapa kepada pesapa. Hal tersebut berupa informasi-informasi, baik berupa lisan maupun yang berbentuk tulisan.
Indonesia memiliki berbagai macam suku dan mempunyai beranekaragam bahasa yang dimiliki oleh tiap-tiap daerah. Daerah yang mempunyai bahasa tersebut misalnya bahasa batak, jawa, sunda, madur, dan sebagainya. Bangsa Indonesia mempunyai bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi untuk menyatukan bangsa yang terdiri atas beragam bahasa dan budaya ini.
Bahasa daerah sangat penting untuk memperkaya kebudayaan bahasa Indonesia. Hamid (1988:27) mengatakan “Bahasa daeah adalah yang dipergunakan penduduk asli suatu daerah biasanya dalam wilayah yang mempunyai banyak bahasa yang dipertentangkan dengan bahasa resmi atau bahasa nasional”.
Penelitian bahasa daerah yang ada di Nusantara sangat diperlukan, Indonesia merupakan negara yang kaya akan daerah yang beranekaraga. Setiap daerah yang ada di wilayah nusantara ini, mempunyai bahasa tersendiri dengan dialek yang beragam pula, terutama jika dilihat dari adjektivanya.
Bahasa Jawa dialek Surabaya khususnya di desa pangkalan kasai, banyak dipengaruhi oleh bahasa daerah lain. Oleh karena itu di desa pangkalan kasai terdapat suku-suku lain seperti sunda, batak, dan melayu. Suku-suku tersebut juga menggunakan bahasa Jawa disamping menggunakan bahasa daerah mereka masing-masing. Pemakaian bahasa jawa sebagai bahasa perhubungan antara penduduk ini meliputi lingkungan yang cukup luas, hampir pada setiap tempat dan situasi. Mulai dari lingkungan keluaraga, adat,dan agama, hingga bahasa jawa ini semakin berkembang. Alwi (2003:24) menyatakan “Bahasa dapat berkembang karena adanya kontak dengan bahasa dan budaya lain. Adanya kontak dengan budaya lain dapat menimbulkan perubahan-perubahan terhadap suatu bahasa dan perlu mendapatkan perhatian khusus untuk memelihara bahasa tersebut”.
Lapoliwa (1998:1)
Dasar garis haluan pasal 36, Undang-Undang Dasar 1945, dan penjelasannya menjelaskan menerangkan hubungan antara bahasa Indoensia dan bahasa daerah. Atas dasar itu, bahasa dan sastra sebagai bagian kebudayaan Indonesia perlu dikembangkan dan dibina demi tujuan nasional, sebagaimana termaktub dalam pembukaan Undang-UndangDasar 1945”.
Bahasa jawa dialek surabaya ini identik dengan penggunaan kata ‘arek-arek’ yang artinya anak-anak yang digunakan untuk memanggil kawan sebaya. Kata ‘arek’ inilah yang membedakan dengan bahasa jawa pada umumnya akan tetapi pada setiap percakapan biasanya juga sering menggunakan kata ‘rek’ dalam setiap kalimat yang diucapkan sebagai tambahan. Contohnya : yo’opo ‘rek’ tugas kuliahmu? wes mari taa? mosok ngunu ae gak isose ‘rek’, kok sue tenan. [gimana tugas kamu?masak gitu aja gak bisa, ko lamakali].
Adjektiva bahasa jawa dialek Surabaya merupakan peran yang sangat penting dalam pembinaan dan pengundangan bahasa yang dapat dijadikan dokumentasi dalam upaya pengembangan selanjutnya dan mengetahui lebih jauh tentang adjektiva yang terdapat dalam bahasa jawa dialek Surabaya di desa pangkalan kasai. Contoh adjektiva dalm bahasa jawa dialek surabaya : sakit [loro], lara [teles],baik [apik]. Sedangkan adjektiva dalm bahasa jawa dialek Surabaya dalam bentuk kalimat: anak itu sakit dan tidak tertolong lagi [arek iku loro gak ketulung maneh], baju anak itu basah kena hujan [klambine arek iku teles , anak itu baik hatinya [erek iku apik atine] dan sebagainya.
Adjektiva memberikan  informasi sifat terhadap nomina atau verba yang umumnya mendahuluinya dalam suatu frase atau kalimat. peran dan fungsi adjektiva bahasa Jawa dialek Surabaya di desa Pangkalan Kasai ini dapat dilihat dari frekuensinya bahwa pemakaian bahasanya tergolong banyak digunakan. Kusno (1990:73) berpendapat “Adjektiva adalah kata yang menjelaskan kesifatan atau keadaan suatu benda atau yang dibendakan”.
Penelitian ini dimaksudkan untuk megetahui proses adjektiva yang terdapat pada bahasa jawa dialek surabaya. selain itu, penelitian ini juga dimaksudkan sebagai salah satu pendokumentasian bahasa daerah. Untuk itu, penulis mencoba menggarap penelitian dengan judul “Adjektiva bahasa Jawa dialek Surabaya di Desa Pangkalan Kasai Kecamatan Seberida Kabupaten Indragiri Hulu”.
Penelitian ini adalah peelitian lanjutan. Peneliti pertama adalah Abaidah, tahun 2011, FKIP  Universitas Islam Riau yang berjudul Adjektiva Bahasa Melayu Riau Dialek Sialang Godang Kecamatan Bandar Patalangan Kabupaten Pelalawan. Masalah penelitian ini adalah bagaimaa adjektiva bertaraf dari segi perilaku semantisnya yang terdapat pada bahasa Melayu Riau dialek Godang Kecamatan Bandar Petalangan. Lokasi penelitiannya adalah Desa Bandar Petalangan. Teori yang digunakan adalah teori Kridalaksana dan teori Hasan Alwi. Metode yang digunakan metode deskriptif. Teori yang dipakai adalah teori Alwi. “Adjektifa Bahasa Jawa dialek Surabaya di Desa pangkalan Kasai Kecamatan Seberida Kabupaten Indragiri Hulu”.                                           
kedua peelitia ini diteliti oleh Hesni Yanti  dengan judul Adjektiva Bahasa Melayu Riau Dialek Kari Kecamatan Kuantan Tengah Kabupaten Kuantan Tengah tahun 1999 FKIP UNRI. Dengan masalah (1) Bagaimana Adjektiva dan segi prilaku semantisnya dan (2) pertarafan Adjektiva dalam bahasa Melayu Riau dialek Kari. Lokasi penelitiannya adalah Desa Kuantan Tengah. Teori yang dipakai adalah teori Kridalaksana dan Papera. Metode yang digunakan metode Deskriptif.
Ketiga Rissa Bella Lestari, tahun 2012, FKIP Universitas Islam Riau yang berjudul Adjektiva Bahasa Melayu Riau Dialek Sorek Kecamatan Pangkalan Kuras Kabupaten Pelalawan tahun 2012 FKIP UIR. Masalah dalam penelitian ini adalah apasajakah pertarafan Adjektiva untuk tingkat kualitas dan banding dalam adjektiva Bahasa Melayu Riau Dialek Sorek Kecamatan Pangkalan Kuran Kabupaten Pelalawan. Lokasi penelitiannya adalah Desa Pangkalan Kuras. Teori yang digunakan adala teori Alwi. Metode yang digunakan adalah Metode Deskriptif. Dengan hasil penelitiannya yaitu ada 4 Adjektiva dari segi prilaku semantisnya, adjektiva dari segi prilaku sintaksisnya, adjektiva fungsi atribut, dan pertarafan adjektiva.
Penelitian ini di harapkan dapat memberikan manfaat baik secara praktis dan teoritis. manfaat praktis adalah menambah pengetahuan dan wawasan bagi pembaca untuk lebih mengenal dan memahami Adjektiva Bahasa Jawa dialek Surabaya di Desa Pangkalan Kasai dan sebagai masukan dan informasi bagi lembaga pendidikan. Manfaat teoritis adalah dapat dijadikan sebagai salah satu pedoman dalan pembelajaran bahasa Jawa dan sebagai pedoman atau landasan untuk penelitian lebih lanjut baik terhadap bahasa maupun bidang lainnya.

2.        Masalah
Berdasarkan masalah Adjektiva pada latar belakang diatas, pada bahasa Jawa dialek Surabaya ini maka dapatlah dirumuskan maslah penelitian ini sebagai berikut:

1.      Bagaimanakah Adjektiva bertaraf dari segi perilaku semantisnya yang terdapat pada        bahasa Jawa dialek Surabaya di Desa Pangkalan Kasai Kecamatan Seberida Kabupaten Indragiri Hulu?

2.      Bagaimanakah Adjektiva tak bertaraf dari segi prilaku semantisnya yang terdapat      pada bahasa Jawa Dialek Surabaya di Desa Pangkalan Kasai Kecamatan Seberida Kabupaten Indragiri Hulu?

3.    Tujuan Penelitian
               Berdasarkan masalah di atas, penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
1.      Untuk mengatasi Adjektiva bertaraf dari segi prilaku semantis yang terdapat pada bahasa Jawa Dialek Surabaya di Desa Pangkalan Kasai Kecamatan Seberida Kabupaten Indragiri Hulu.
2.      untuk mengetahui Adjektiva tak bertaraf dari segi prilaku semantis yang terdapat pada Bahasa Jawa Dialek Surabaya di Desa Pangkalan Kasai Kecamatan Seberida Kabupaten Indragiri Hulu.


4.        Teknik Pengumpulan Data
            Untuk mengumpulkan data adjektiva bahasa Jawa dialek Surabaya di Desa Pangkalan Kesai meliputi adjektiva dari segala perilaku semantisnya, penulis menggunakan teknik observasi, teknik wawancara, teknik rekaman dan teknik catatan.

3.1              Observasi
Observasi dilakukan pertama kali untuk melihat daerah yang akan dijadikan sebagai tempat penelitian. Dalam penelitian ini penulis terlibat langsung dalam pengumpulan data. Kemudian peneliti melakukan observasi langsung dengan datang kelokasi penelitian tujuan untuk mengetahui bagaimana kondisi masyarakat disana dan untuk menentukan siapa saja yang akan menjadi informan, sehingga ketika melakukan penelitian kita sudah mengetahui bagaimana cara mendekatkan diri kepada narasumber atau informan.
           
 Observasi dilakukan untuk memperoleh data dan informasi secara langsung tentang adjektiva serta pemakaian bahasa Jawa yang digunakanoleh masyarakat Pangkalan Kasai. Menurut Abdul Halim (2011:132) “ Observasi adalah suatu studi kesengajaan dan dilakukan secara sistematis berencana melalui proses pengamatan atas gejala-gejala yang terjadi pada saat itu”.
            Kegiatan observasi ini dilakukan pada tanggal 22 januari 2013 untuk melakukan pengamatan terhadap informan. Hal ini dilihat dari persyaratan yang telah dilampirkan yaitu penutur yang minimalnya berusia 30 tahun dan masih menggunakan bahasa Jawa Surabaya yang berada di daerah Riau.

3.2   Teknik wawancara
Teknik wawancara, yakni dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan langsung kepada penutur asli masyarakat Desa Pangkalan Kasai Kecamata Sebrida yag berupa kalimat yang berkaitan dengan adjektiva. Wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi langsung dengan informan. Menurut Abdul Halim (2011:130) “wawancara adalah salah satu cara untuk mendapatkan keterangan secra lisan dari koresponden/informasi dengan bercakap-cakap, dengan tujuan untuk mengumpulka keterangan demi menyempurnakan data yang reprentatif”. Ketika melakukan wawancara, peneliti langsung merekam kegiatan wawancara tersebut dengan meggunakan HP .
Wawancara pertama dilakukan pada tanggal 28 april 2013, pukul 10:00 WIB, dirumah informan 1 yaitu Mulyono. Wawancara kedua dilakukan pada tanggal 3 Mei 2013 pukul 13.10 di rumah informan 2 yaitu Sryati. Wawancara ketiga dilakukan pada tanggal 5 Mei 20.00 di rumah informan 3 yaitu Puput Dwi Lestari.

3.3  Teknik Rekaman
Teknik rekaman ini dioperasionalkan melalui beberapa tahap: pertama, penulis merekam setiap pembicaraan bahasa Jawa Dialek Surabaya di Desa Pangkalan Kasai Kecamatan Seberida Kabupaten Indragiri Hulu yang dituturkan oleh informan dengan menggunakan hp. Kedua, keseluruhan rekaman yang terhimpun dalam rekaman itu ditranskripsikan ke dalam bentuk bahasa tulis. Ketiga, penulis mengelompokkan secara sistematis keseluruhan transkrip data bahasa itu menurut sistematis pembatasan masalah penelitian itu. Menurut Abdul Halim (2011:131) “Merekam digunakan untuk memperoleh data primer dari sumber datanya, untuk tujuan khusus, dengan kata lain dapat memperoleh data asli dari sumber tangan pertama”.

3.4  Teknik Catatan
Teknik catatan digunakan untuk mencatat ujaran informan setelah melalui proses rekaman, ini dilakukan untuk memudahkan penulis mengelompokkan data yang diperlukan agar data dapat dikelompokkan sesuai dengan kriteriannya.    









5.        Kesimpulan

Berdasarkan analisis data yang penulis kemukakan dalam bab terdahulu, ternyata masyarakat Surabaya di Desa Pangkalan Kasai Kecamatan Seberida Kabupaten Indragiri Hulu menggunakan adjektiva bahasa Jawa dialek Surabaya, baik Adjektiva bertaraf maupun adjektiva tak bertaraf.
Penggunaan adjektiva bertaraf dari segi perilaku semantisnnya meliputi penggunaan adjektiva pemeri sifat, adjektiva ukuran, adjektiva warna, adjektiva waktu, adjektiva jarak, adjektiva sikap batin, dan adjektiva serapan.
            Masyarakat Surabaya di Desa Pangkalan Kasai Kecamatan Seberida Kabupaten Indragiri Hulu ternyata menggunakan adjektiva pemeri sifat dalam berbahasa Jawa dialek Surabaya. Fakta ini dibuktikan dengan ditemukannya kata seperti [sum∂r/panas], [ru∂sik/bersih], [guala?/ganas], [Uad∂m/dingin], dan [ayu/cantik]. Selain menggunakan adjektiva pemeri sifat masyarakat Surabaya di Desa Pangkalan Kasai ternyata juga menggunakan adjektiva ukuran, adjektiva warna, dan adjektiva waktu. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya penggunaan kata [bobot/berat], [sr∂gep/ringan], [duowo/panjang], [duwur/tinggi], dan [c∂andek/pendek], (adjektiva ukuran); kata [abang/ merah], [kuneng/kuning], dan [biru/biru], (adjektiva warna); kata [ker∂p/sering], [suwe/lama], [mbaler/lambat], [arang/jarang], dan [cepet/cepet] (adektiva waktu); dalam percakapan masyarakat.
            Disamping penggunaan keempat jenis adjektiva di atas, masyarakat Surabaya di Desa Pangkalan Kasai ternyata menggunakan pula adjektiva jarak, adjektiva sikap batin, dan adjektiva serapan dalam berkomunikasi. Fakta ini dibuktikan dengan di temukannya penggunaan kata [adohno/jauhkan], [rapet/rapat], [cuedek/dekat], dan [Uadoh/jauh], (adjektiva jarak); kata [saneng/bahagia], [bongo/bangga], [b∂nci/benci], (adjektiva sikap batin); kata [tuerang/terang], [sem∂erbak/semerbak], dan [lu∂gi/manis], (adjektiva serapan); dalam percakapan masyarakat.
            Masyarakat Surabaya yang berdomisili di Desa Pangkalan Kasai tidak hanya menggunakan adjektiva bertaraf, tetapi juga memakai adjektiva tak bertaraf dalam berkomunikasi. Fakta ini dibuktikan dengan ditemukannya penggunaan kata [bunder/bulat], [sadar/sadar], [goib/gaib], dalam percakapan masyarakat.